Thursday, July 15, 2010

Saatnya Satgas Antimafia Hukum Tangani Kasus Sisminbakum

Anton Suhartono - Okezone

JAKARTA - Kasus hukum Sismibakum ditengarai penuh rekayasa. Jaksa pun diduga kuat melakukan manipulasi fakta, sehingga terkesan kasus ini merugikan keuangan negara. Untuk mengclearkan persoalan ini sudah saatnya Satgas Antimafia Hukum turun tangan untuk menginvestigasi dugaan rekayasa para jaksa tersebut.

"DPR dan Satgas perlu meng-clear-kan masalah ini. Ini adalah kasus rekayasa atau pemalsuan bukti. Perlulah ada sapu bersih apalagi jika ada dugaan mafia," tegas Yusron Ihza Mahendra, adik tersangka Sisminbakum Yusril Ihza Mahendra saat berbincang dengan okezone, Kamis (15/7/2010).


Yusron menegaskan bahwa jelas terjadi rekayasa yang dilakukan oknum Kejaksaan Agung, terkait penanganan kasus sistem administrasi badan hukum (Sisminbakum).

"Seharusnya sisminbakum sudah selesai, tapi dibangkitkan kembali. Presiden sudah tiga kali ganti, Menteri Kehakiman (Menkum HAM) juga sudah tiga kali ganti, tapi sisminbakum dibangkiitkan kembali," ungkapnya.

Menurutnya sudah jelas bahwa BPK dan BPKP menyatakan tidak ada kerugian negara dalam kasus ini.

Terkait pelibatan swasta, Yusron menjelaskan hal tersebut tidak bisa dijadikan alasan, karena proyek pemerintah lainnya, seperti jalan tol, juga melibatkan investasi sektor swasta.

"Kalau soal swasta, kan jalan tol juga dipegang swasta. Proyek-proyek PU juga swasta terlibat. Tapi kok sisminbakum dipegang swasta dipermasalahkan," tutur mantan anggota Komisi II DPR ini.

Yusron menyoroti permainan atau rekayasa dalam kasus ini. Ini tidak terlepas dari persoalan tanda tangan Romli Atmasasmita terkait pembagian dana dari PT SRD dengan Koperasi Pengayoman Departemen Hukum dan HAM.

"Pak Romli itu kan satu-satunya yang diduga bahwa dia menyetujui pembagian kerja sama antara SRD dengan Koperasi Pengayoman Departemen Kehakiman. Tetapi Pak Romli tidak tanda tangani surat itu. Dan pas dicek ternyata tanda tangan beliau dipalsukan oleh Basuki," papar Yusron.

Pemalsuan itu, tandas Yusron, terjadi di Gedung Kejaksaan Agung. Karena itu, katanya, jelas ada rekayasa dalam kasus sisminbakum ini.

"Itu justru terjadi di Gedung Bundar (Kejagung) itu. Di Gedung Bundar terjadi manupulasi bukti atau rekayasa bukti. Jadi rekayasa bukti yaitu pemalsuan tanda tangan Pak Romli oleh Basuki," jelas Yusron.

Yusron mengaku dirinya memegang surat pengaduan pemalsuan tanda tangan tersebut dan kini polisi sudah menetapkan Basuki sebagai tersangka.

Karena itu, dia meminta semua pihak memahami duduk persoalan ini. Bahkan, lanjutnya, lembaga lain seperti DPR dan Satgas Antimafia Hukum turun tangan untuk menyelidiki dugaan rekayasa di dalam institusi penegakan hukum.

Sementara itu, anggota Komisi Hukum dan HAM DPR Aziz Syamsuddin saat dihubungi terpisah, menyatakan pihaknya akan menelusuri setiap dugaan penyimpangan dalam Kejagung. Aziz mengungkapkan pemeriksaan di pengadilan akan mengungkapkan jika memang benar terjadi rekayasa yang diaminkan oknum Kejaksaan.

"Kami akan terus menelusuri kasus ini. Biar nanti pengadilan yang memutuskan, apakah benar ada rekayasa jaksa dalam kasus ini," tegas politisi Partai Golkar ini.

Sebelumnya Mantan Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra juga menuding adanya rekayasa atas kasus sisminbakum. Bahkan tidak tanggung-tanggung Yusril menuding jaksa Faried Harianto telah melakukan manipulasi fakta. Faried sejak Mei lalu menjabat sebagai Direktur Penuntutan di Kejaksaan Agung.

"Saya curiga Jaksa Agung jatuh dalam permainan Faried. Saat ini dirumorkan juga kalau saya menerima aliran dana Sisminbakum ratusan miliar. Kalau saya terima uang segitu, hidup saya tidak susah seperti sekarang," papar Yusril.

Untuk mengingatkan saja, kasus sisminbakum ini mulai bergulir sejak pertengahan 2008. Berbagai tuduhan jaksa dialamatkan pada proyek seperti masalah access fee, permasalahan tender, pungli, dan merugikan keuangan negara. Padahal jika ditelaah secara seksama proyek ini tidak satu sen pun menggunakan dana pemerintah, karena murni investasi swasta.

Access fee sebenarnya tidak masuk dalam kategori Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) karena sejak awal tidak tercantum dalam PP tentang PNBP. Untuk porsi PNBP sebesar Rp200 ribu sesuai PP 19/2007 telah dibayar langsung oleh notaris ke kas negara. Access fee juga dikenakan PPN dan PT SRD pun dikenakan Pajak Penghasilan Badan serta telah beberapa kali audit oleh pajak. Ini menegaskan bahwa access fee bukan pungutan liar karena ada unsur PPN yang dipungut pemerintah.

Selain itu, dalam PP 38/2009 ditetapkan akses fee menjadi PNBP dan sejak itu tidak dikenakan PPN. Hal ini menegaskan bahwa sejak dulu hingga dikeluarkannya PP 38/2009, access fee bukan PNBP.

Menyangkut permasalahan pengadaan sisminbakum tidak melalui proses tender juga terpatahkan, karena pengadaan sisminbakum bukan dana APBN dan merupakan kebijakan pemerintah (Menkumham dan Menkeu) pada saat itu. Sisminbakum juga tidka melanggar Keppres 7/1998 karena tidak masuk kategori penyedia infrastuktur sehingga pelaksanannya tidak perlu melalui koordinasi Bappenas.

Hasil audit BPKP juga tidak menemukan adanya kerugian negara. Tuduhan Kejagung mengenai adanya kerugian negara sebesar Rp420 miliar hanya didasarkan pada seluruh perolehan kotor access fee sebelum dikurangi bagian koperasi 10 persen, biaya investasi termasuk maintenance, biaya operasional selama lebih dari 8 tahun, serta pajak yang disetorkan ke kas negara.

Atas dasar itulah tidak heran jika mantan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Departemen Hukum dan HAM Romli Atmasasmita datang ke kantor Komnas HAM di Jalan Latuharhari untuk melaporkan tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan negara kepada dirinya.

Negara dalam konteks ini adalah para jaksa serta hakim yang menangani kasusnya. Seperti diketahui, Romli telah divonis dua tahun penjara, membayar denda Rp100 juta, serta membayar uang pengganti USD2.000 dan Rp5 juta subsider dua bulan kurungan oleh majelis hakim PN Selatan yang diketuai Ahmad Yusak pada Senin, 7 September 2009 lalu.

Dia dituding menikmati uang akses fee layanan sisminbakum sebesar Rp5 juta dan USD2.000, seperti yang dituduhkan jaksa penuntut hukum (JPU) dan dijadikan pertimbangan hakim dalam memutus perkara.

Padahal Romli mengaku tidak pernah menandatangani kuitansi penerimaan uang tersebut. Tuduhan kepada Romli juga hanya berasal dari keterangan para saksi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Yang sangat penting dalam putusan perkara ini adalah tidak adanya kejelasan apakah uang Sisminbakum merupakan uang negara.

Menurut Romli, putusan itu sangat janggal karena sejak awal hakim tidak dapat membuktikan uang sisminbakum uang negara. "Saya mohon bantuan perlindungan kepada Komnas HAM agar persoalan ini dikaji dan diteliti secara tuntas. Ini keterlaluan, negara sudah melakukan pelanggaran HAM terhadap diri saya," ujar Romli yang datang ke Komnas HAM dengan didampingi pengacaranya, Juniver Girsang.

"Kalau ini tidak berhasil saya sudah menyiapkan surat yang lebih tinggi yaitu ke Komisi HAM PBB," imbuhnya.

Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim yang menerima rombongan menyatakan dalam kasus Romli jelas telah terjadi pelanggaran hak asasi. Sebab Romli sempat ditahan selama 305 hari tanpa bukti yang jelas.

Ketidakjelasan alat bukti yang dimaksud adalah adanya dugaan rekayasa alat bukti. Yaitu surat perjanjian dan kuitansi penerimaan uang yang ditujukan kepada Romli.

"Kita ingin melacak kalau itu memang ada kita akan koordinasi dengan kepolisian untuk mendorong melakukan penyidikan pidana pada orang yang melakukan, supaya terungkap seluruhnya. Kalau benar ini rekayasa harus ada rehabilitasi terhadap Pak Romli," ungkapnya.

Komisioner Komnas HAM Syafruddin Ngulma Simeulue mengatakan pihaknya sudah memiliki MoU dengan Komisi Yudisial. Dari situ, Komnas HAM bisa memberi rekomendasi ke KY agar memeriksa para hakim yang menangani perkara Romli.
(lam)

No comments:

Post a Comment